Seorang perempuan tidak boleh dilarang masuk Gereja selama waktu datang bulannya; sebab hal-hal yang alami tidak bisa dianggap dosa, dan tidak patut ia ditolak karena keadaan di luar kendalinya. Kita tahu tentang perempuan yang mengalami pendarahan, dengan rendah hati ia mendekati Tuhan kita dari belakang, menyentuh tepi jubah-Nya dan seketika itu juga disembuhkan dari penyakitnya. Karena itu jika perempuan tadi boleh menyentuh jubah Tuhan kita, mengapa perempuan yang mengalami peristiwa alami tidak diizinkan masuk dalam gereja Allah? Dan kalau keberatannya ialah perempuan dalam Injil terkena penyakit, sedangkan perempuan lainnya terbelenggu kebiasaan, maka ingatlah saudaraku, bahwa semua yang kita tanggung dalam tubuh fana ini lewat kelemahan kodratnya dengan adil diselenggarakan oleh Allah sejak kejatuhan manusia. Karena rasa lapar, haus, panas, dingin dan kelelahan bersumber dari kelemahan kodrat kita; dan kebutuhan kita akan makanan untuk melawan lapar, minum untuk mengatasi haus, dingin untuk menghadapi panas, pakaian untuk melawan dingin, dan istirahat untuk mengatasi kelelahan merupakan upaya untuk memperoleh obat bagi kelemahan kita. Jadi jika kita berpendapat baik tentang perempuan yang dalam kesakitan menyentuh jubah Tuhan kita, mengapa kelonggaran serupa tidak diberikan pada semua perempuan yang menanggung kelemahan kodrat mereka?
Seorang perempuan karenanya tidak boleh dicegah menerima Sakramen Ekaristi pada waktu-waktu datang bulannya. Jika siapa pun, karena rasa hormat mendalam (terhadap Ekaristi), memilih untuk tidak komuni, hal itu patut dihargai. Namun, jika mereka menerima Ekaristi, mereka tidak bersalah apa pun. Orang-orang yang tulus hati sering mengakui kesalahan bahkan saat sebenarnya tidak ada kesalahan, karena tindakan murni bisa timbul dari sebuah kesalahan. Makan sewaktu kita lapar misalnya, bukanlah kesalahan, tetapi menjadi lapar (sesuai keadaan kita sekarang) bersumber dari dosa Adam. Sama halnya, masa datang bulan perempuan bukanlah kesalahan. Mereka disebabkan alam, Tetapi pencemaran kodrat kita bahkan terlihat saat kita tidak memiliki niat secara sengana untuk melakukan kejahatan, dan pencemaran ini timbul dari dosa. Demikianlah kita bisa mengetahui penghakiman yang dibawa dosa ke atas kita, dan supaya orang-orang yang berdosa dengan sadar, tanpa disadari menanggung hukuman bagi dosa mereka.
Karena itulah saat perempuan, berdasarkan pertimbangan yang patut, tidak berniat mendekati Sakramen dari Tubuh dan Darah Tuhan selama masa datang bulannya, mereka harus dihargai. Tetapi jika mereka tergerak oleh cinta dan bakti pada Misteri Kudus ini, mau menerimanya sebagaimana dianjurkan oleh kebiasaan saleh, mereka tidak boleh dihalangi. Sebab sementara Perjanjian Lama menjadikan ibadah lahiriah penting, Perjanjian Baru tidak menganggap hal-hal tersebut sama tingginya dengan niat batin sebagai ukuran tunggal untuk menjatuhkan hukuman. Taurat contohnya melarang makan banyak hal yang najis, tetapi dalam injil Tuhan bersabda, “…bukan yang masuk ke dalam mulut yang menajiskan orang, melainkan yang keluar dari mulut, itulah yang menajiskan orang (Mat. 15:11).” Ia juga mengatakan, “…sebab dari dalam, dari hati orang, timbul segala pikiran jahat,… (lihat Mrk. 7:18-21).” Di sini Allah Yang Mahakuasa jelas menunjukkan bahwa perbuatan jahat berasal dari akar pikiran yang jahat. Sama halnya Rasul Paulus berkata, “Bagi orang suci semuanya suci; tetapi bagi orang najis dan bagi orang tidak beriman suatu pun tidak ada yang suci.” Lalu ia menambahkan, “…karena baik akal maupun suara hati mereka najis (Tit. 1:15).” Jika tidak ada makanan yang najis bagi seseorang perpikiran murni, bagaimana bisa seorang perempuan yang mengalami hukum alam dengan pikiran bersih dapat dianggap najis?
(Dipublikasikan dalam The Orthodox Church, Desember 1987)
